SUARA INDONESIA

Tanpa Izin HGU, Komisi B DPRD Sumut Akan Sidak PT HPP

- 22 October 2020 | 16:10 - Dibaca 3.27k kali
Peristiwa Daerah Tanpa Izin HGU, Komisi B DPRD Sumut Akan Sidak PT HPP
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komis B DPRD Sumut bersama Dinas Perkebunan, KPPU Sumut, PT. HPP. (Foto : Humas DPRD-SU/suaraindonesia.co.id).

MEDAN - PT. Hijau Pryan Perdana, akan di Sidak langsung oleh Anggota DPRD Sumut atas 2.380 hektare lahan di Desa Pasar Tiga, Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.

Pasalnya, PT HPP itu selama 13 tahun berdiri tanpa izin Hak Guna Usaha (HGU).

Hal ini diungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi B DPRD Sumut bersama Dinas Perkebunan, KPPU Sumut, PT. Hijau Pryan Perdana (HPP) di Ruang Aula DPRD Sumut. Jalan Imam Bonjol, No. 5 Medan. Rabu, (21/10/2020) Kemarin

"Perusahaan itu tidak memiliki izin HGU sejak 2007. Mengapa bisa beraktivitas tanpa izin HGU. Seharusnya, setelah izin lokasi dikeluarkan pemerintah, tiga tahun kemudian izin HGU segera diurus. Ini sangat aneh," ungkap Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga, Kepada wartawan. Kamis, (22/10/2020).

Dibeberkan Zeira Salim Ritonga, dari Fraksi PKB tersebut mengatakan, Perkebunan ini mengeluarkan 20 persen dari lahan yang dikuasai untuk kesejahteraan masyarakat sekitar, yakni sebesar 314 hektare.

"Tapi nyatanya, perusahaan tidak menepati janji sehingga kelompok tadi mengadu ke dewan," kata Zeira.

Kemudian, Zeira menyebutkan selain tidak memiliki HGU, perusahaan ini juga melanggar perjanjian dengan kelompok tani atau Koperasi Konsumen Pane Sapokat yang dibuat pada 2013 lalu.

"Kami akan melakukan sidak langsung ke lokasi. Melihat segala perizinan yang mereka miliki. Selain itu, kami juga meminta agar Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu proaktif melihat kasus ini," tegasnya.

Begitu pula dengan Ketua Komisi B DPRD Sumut Viktor Silaen. Dia mengatakan, pihaknya akan melakukan kunjungan ke PT HPP.

"Mereka rampok hak masyarakat. Kami meminta perusahaan ini diaudit nantinya," Kata Viktor, tegasnya

Dia juga meminta perusahaan menepati perjanjian yang telah disepakati dengan masyarakat.  Karena itu merupakan amanat Undang undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, bahwa perusahaan wajib menyediakan plasma sebesar 20 persen.

"Perjanjian perusahaan dengan masyarakat harus ditepati. Jika perusahaan ada mengeluarkan aturan baru tentang perjanjian, seharusnya membuat adendum. Jika tidak, itu namanya mereka sepihak dan tidak boleh," tuturnya.

Komisi B memberikan kesempatan kepada perusahaan dan masyarakat duduk bersama mencari solusi. Namun, proses hukum bisa dilakukan jika memang tidak menemukan kesepakatan.

"Kami dari DPRD Komisi B menyarankan perusahaan dan koperasi silakan duduk bersama mencari solusi. Jika tidak ada solusi, silakan ditempuh dengan jalur hukum. Sebenarnya masalah ini tidak rumit, jika perusahaan menjalankan perjanjian," terang politisi Partai Golkar itu.

Reporter : Sadar Laia

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta :
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya